Kamis, 15 Juli 2010

Pandan Sari China Town Versi Balikpapan

Ketika semua orang membicarakan tentang kota Balikpapan pasti semua orang ingin bercerita tentang kawasan pengolahan minyak dan sejumlah perusahaan jasa di bidang minyak dan gas bahkan tambang batu bara yang menjamur dan menjadi daya tarik para pendatang yang ingin mengadu nasib di kota kecil ini.



Namun kali ini saya ingin bercerita tentang budaya yang tumbuh dan berkembang di kota Minyak yang memiliki penduduk yang saat ini telah mencapai lebih dari lima ratus ribu jiwa. Bicara tentang budaya atau nilai keseharian masyarakat Balikpapan hanya dapat terlihat melalui gaya hidup yang konsumtif.

Dimana sebuah kompetisi bukan hal yang berarti bagi generasi kedua yang lahir dan besar di kota Balikpapan mengingat pendapatan penduduk pertahun di kota ini yang relatif tinggi ditunjang dengan rendahnya tingkat kesenjangan sosial akibat perekonomian yang cukup kondusif hingga saat ini, percaya atau tidak orang yang tidak memiliki pekerjaanpun sanggup memberi handphone keluaran terbaru!

Bagaimana itu bisa terjadi? Karena sebagian besar dari mereka masih termasuk dalam daftar penerima subsidi dari orang tua mereka yang memiliki penghasilan yang tinggi, hal tersebut membuat pilihan baru yang cukup menarik untuk mereka pemuda dan pemuda usia produktif untuk tidak pergi bekerja dengan penghasilan kecil jika dibandingkan dengan ‘jatah’ yang diberikan oleh orang tua mereka.



Di sisi lain, heterogenitas suku ras dan agama di kota Balikpapan menjadikan kota ini tidak memiliki akar budaya yang jelas, bahkan ketika sejumlah budayawan merumuskan apa yang mendasari lahirnya kebudayaan di kota ini pun tidak bisa mewakili apa yang tergambar secara luas dan menyeluruh mengenai ciri khas kota Balikpapan. Karena ciri dari Balikpapan sendiri sebenarnya adalah keberagamannya.



Kembali merekam ingatan tentang apa dan bagaimana kota Balikpapan pada jaman dahulu, kita selalu disajikan dengan megahnya instrumen pengolahan yang terletak di Jalan Minyak, dan tidak henti-hentinya pula ingatan kita diarahkan pada peninggalan sejarah arsitektur Belanda jika kita memasuki kawasan perumahan komplek Pertamina.



Jika kita lebih membuka mata untuk melihat awal perkembangan budaya di kota Balikpapan dapat juga diawali pada sebuah kawasan khas pecinan yang berlokasi di Pasar Tradisional Pandansari.



Terdapat sejumlah nilai sejarah yang menambah khasanah budaya masyarakat Balikpapan. Kaum pendatang yang berasal dari Negeri Cina tersebut sedikit banyak memberi pengaruh besar terhadap kedaulatan dan juga perdagangan di kota Balikpapan.



Berbicara tentang budaya kota Balikpapan bukan hanya membicarakan tentang suku asli kalimantan yaitu Dayak dan Kutai. Secara historis memang Kalimantan Timur adalah bagian dari Pulau Kalimantan yang terkenal dengan ‘orang dayak’ dan kerajaan Kutai. Namun lebih spesifik sebenarnya masyarakat Balikpapan hanya "meminjam" sebagian lahan dari suku dayak yang dijadikan sebagai bandar perdagangan karena lokasi yang sangat strategis untuk menunjang aktivitas tersebut.



Padahal jika pemerintah kota Balikpapan mau menghargai nilai sejarah, kawasan tersebut kaya akan budaya leluhur kota Balikpapan sangat memungkinkan apabila konsep tersebut bisa terwujud kampoeng Batavia di Ibukota yang saat ini kembali dilestarikan.

Karena awal peradaban sosial masyarakat Balikpapan didominasi oleh masyarakat pesisir yang menopang perdagangan Kota Minyak ini selanjutnya.



Kaum pendatang yang mulai berdatangan sejak abad ke-19 tersebut telah membentuk koloni yang khas dan tidak memiliki icon tertentu untuk dijadikan simbol dominan karena keragaman suku dan ras merupakan perbandingan yang seimbang. Nilai budaya yang tidak membebani itu menjadikan masyarakat Balikpapan memiliki bentuk toleransi yang tinggi dengan alasan yang kuat yakni sama-sama mencari ‘makan’ di kawasan ini.



Menurut sebagian masyarakat Balikpapan yang pernah hidup di kota ini, kawasan Pandan Sari tersebut dahulu merupakan bandar perdagangan sekaligus tempat mereka berkumpul untuk membantu perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengusir tentara Jepang yang saat itu menjadi urusan sekutu untuk mengusir mereka dari negeri tercinta ini.



Kisah tersebut diceritakan secara turun temurun dalam keluargaku yang sudah menetap dua generasi di kota ini. Ungkapan ibuku yang di sadur langsung dari kakekku menegaskan, orang-orang china zaman dulu sering membantu para tentara Indonesia untuk memberikan bekal persediaaan makanan dan beberapa informasi penting mengenai kekuatan Jepang pada saat itu. Beberapa diantara mereka melindungi tentara Indonesia yang menjadi buronan Jepang bahkan beberapa warga pecinan juga ikut berjuang melawan sekutu.



Saat ini masih terdapat warga pecinan tua kota Balikpapan yang merupakan sisa generasi tersebut bisa dijumpai di kawasan warung kopi yang berada dilokasi tersebut. Di salah satu sudut komplek pertokoan Pandan Sari yang menyajikan sarapan pagi berupa nasi kuning dan lontong sayur serta racikan kopi susu yang khas serta aneka jajanan roti yang lezat berkumpul di pagi hari.

Bahkan ada yang menyajikan menu khusus berupa cak kwe dan juga mantau roti padat biasanya disajikan dengan olahan daging payau lada hitam alias menjangan…ummm..nikmat.


Kecamatan Balikpapan Barat salah satu diantara lima kecamatan yang ada di kota Balikpapan banyak menyimpan kekayaan budaya baik tradisi lokal masyarakat atau kekayaan alamnya. Disana terdapat kawasan pemukiman atas air, gedung-gedung tua dan pendudukan Pecinan, pusat penjualan souvenir, dan pelabuhan penyebrangan antar pulau dan dan tentu saja kawasan hutan bakau yang luas terdapat disana.



To be continued….

Tidak ada komentar: